Hidup Bagai Buku, Andai Buku Dapat Hidup
16.46
Kehidupan dapat dianalogikan sebagai sebuah buku. Bayangkan ketika semua manusia memegang buku kehidupannya masing-masing. Setiap orang terlahir dengan buku kosong yang akan ia tulis sendiri. Ada yang tebal, dan ada yang tipis. Bukan menandakan umur seseorang, melainkan pengalaman yang ia torehkan dalam tiap lembaran buku tersebut. Anggap saja sebuah binder note yang isinya dapat kita tambah sewaktu-waktu. Semakin banyak momen dan detail, semakin tebal pula buku kehidupannya.
Setiap orang dianugerahi berbagai macam pengalaman menarik, jika buku kehidupan setiap orang dijual di toko buku, mungkin perlu waktu lama untukku membacanya saking terlalu tebal. Mungkin ada beberapa judul buku kehidupan yang ingin kubaca, sepertinya menarik. Selama ini aku terlalu banyak menulis dengan alur yang datar, dimana halaman-halaman belakang hanya berisi perjalanan garis lurus yang semakin naik, namun tidak mengalami gejolak yang berarti. Seorang penulis yang handal pasti akan memberi alur plot twist yang tidak disangka-sangka, dan itulah buku yang dicari semua orang.
Berbicara buku kehidupan, ada kalanya dimana suatau chapter akan mengisahkan tentang karakter terdekat akan pergi, entah sampai kapan. Ketika itulah kita sebagai penulis merasa terhenti. Merenung sejenak, goresan tinta tidak dapat berlanjut pada halaman berikutnya. Menyadari diri begitu berat pada cerita ini, hingga terisak begitu dalam untuk mampu melepaskan kenyataan bahwa chapter baru harus segera dimulai. Uniknya, chapter baru bukan melulu tentang karakter baru. Chapter baru bisa saja tetap menceritakan karakter yang hilang sebelumnya. Bukan berarti kita berada dalam bayang-bayang masa lalu, melainkan bagaimana kesungguhan kita untuk mengenang dan mengaggumi sosok karakter tersebut.
Lembaran baru tidak akan pernah menggantikan tulisan-tulisan yang sudah ditulis pada halaman terdahulu. Ia hanya akan meniban pada lembaran kertas terakhir disudut kanan buku, semakin dan terus menumpuk. Perkara lupa, itu bagai masalah rajin atau tidaknya kita membaca buku yang pernah kita tulis sendiri, namun aku yakin tidak akan pernah lupa, hanya bayangnya agak samar tertutup kabut memori baru.
Ketakutan terbesar manusia adalah sifat alamiahnya akan kecenderungan dramatisasi. Hal yang selayaknya biasa terjadi dan bukan hal baru untuk dialami, akan selalu menjadi hal baru dan sulit untuk dihadapi. Tentu setiap orang merasakannya. Bukan pertama kalinya, dalam kehidupan kita menulis kata-kata yang sudah pernah kita tulis dihalaman belakang. Dan juga bukan pertama kalinya kita berada dalam drama-drama kehidupan yang memiliki pola cerita berulang, namun tetap saja harus terisak dalam kesunyian.
Semua orang tentu ingin bisa berpartisipasi dan tertulis dalam buku orang lain. setidaknya nama panggilan ataupun sapaan yang masuk dalam alur cerita. Bukan orang yang hanya berperan sebagai sosok pemenuh timeline dengan foto-foto narsis dan tebar pesona. Caraku untuk masuk dan berpartisipasi dalam buku oranng lain ya memang begini, aneh dan kalem. Satu-satunya cara introvert macamku 'terlihat' adalah dengan berteman sama siapa saja, open, meski nggak banyak omong, tapi tetep welcome. Ada hal mendasar kenapa seseorang bisa cepet deket sama orang lain, satu, tolong jangan puji kelebihannya secara berlebihan. Hal itu bisa merentangkan jarak pada sebuah kesenjangan. Namun sebaliknya, bercanda seolah kamu sudah mengenalnya sejak lama akan mempercepat proses kedekatan. Aku beranggapan bahwa seorang teman yang baik, nggak harus selalu keliatan, tapi tulus siap sedia tanpa banyak alasan.
Dalam sebuah buku kehidupan, akan ada momen dimana cerita-cerita akan berlalu begitu cepat tertutup pada tulisan baru dibaliknya. Akan ada karakter-karakter baru, plot dan drama yang lebih mendebarkan dari sebelumnya. Namun apakah karakter lama yang sudah tidak muncul pada halaman selanjutnya akan dilupakan? tidak. Kita tetap dapat menulisnya pada chapter selanjutnya. Memaksanya masuk untuk bergabung dengan karakter baru yang sedang kita olah pada buku kehidupan. Hingga akhirnya karakter-karakter tersebut saling bersinggungan dan menghadapi plot yang tak terduga. Ending memang tidak dapat ditebak, tetaplah menulis, dan ingat pada apa yang kau tulis. Tulisan ini mengandung makna secara implisit, berhati-hatilah dalam berasumsi, karena kesimpulan atas tulisan yang hakiki hanya milik penulisnya seorang.
0 comment