Jalur Dua (part2)
16.49
Cahaya mentari begitu indah, memikat hati para pria yang kesepian dilanda gundah, tanpa sepatah kata silih berganti senja. Bulir rintik air yang turun, membasahi sudut-sudut tak terjamah di kota kami. Rutinitas dan aktivitas yang berulang-ulang tak kuhiraukan, seolah hanya angin yang berhembus menggelitik kulitku. Kuingat-ingat tentang masa lalu. Aku bukanlah pengingat yang baik. Baru terekam olehku dipagi hari, mungkin siang aku sudah lupa. Namun setiap orang memiliki ingatan khusus yang tidak bisa dilupakan. Ingatan yang akan selalu tersimpan dalam memori usang, tak tersentuh. Mencoba kembali membuka tabir lama, dari buku yang berdebu, didasar ingatanku yang terkunci rapat. Begitu indah hingga kusebutnya sebagai, Kenangan.
Perjalanan masa lalu-lah yang berperan mengantarkanku ditempat ini. Berlomba-lomba mengadu nasib, bermandikan keringat, tak kupedulikan bau ketiak orang-orang didalam gerbong besi ini. Andai proses dan perjuangan sepenuhnya menjadi pertimbangan hasil akhir.
Kamu, Sang Manusia, seolah hilang ingatan, bahwa proses adalah rantai memori dari keberhasilan dan kegagalan yang terbentuk agar dapat menjadi hasil akhir.
Seolah buta, bahwa proses adalah jalan yang terjal tuk mencapai arah tujuan hasil akhir.
Seolah tuli, bahwa proses adalah hal yang kerap menasehatimu untuk tetap tegak menuju pada hasil akhir.
Seolah bisu, bahwa proses adalah rangkaian kata penuh makna dan derita yang dapat disimpulkan sebagai hasil akhir.
Jejak yang terekam dalam ingatanku begitu jelas. Sang Manusia, telah menginjakkan kakinya di surga. Tempat terindah yang diciptakan tuhan untuk para penghuni bumi yang menyadari kekuasaan-Nya. Begitu kontras, ketika surga pergi meninggalkannya, Sang Manusia hanya terbaring lemah memohon ampun.
0 comment